Rabu, 15 Desember 2010

Janji-Janji di Negeri Penuh Janji

Dulu di tahun 1970-an, bisa dibilang semua orang pernah mendengar lagu Kolam Susu yang dibawakan grup band Koes Plus. Penggalan syair lagunya sangat menjanjikan, dan memang seperti itulah kenyataan sesungguhnya negeri bak surga nirwana ini.

Bukan lautan hanya kolam susuKail dan jala cukup menghidupimuTiada badai tiada topan kau temuiIkan dan udang menghampiri dirimuOrang bilang tanah kita tanah surgatongkat kayu dan batu jadi tanaman.........

Tak ada yang kurang dari negeri ini. Dari mulai tanah yang subur, air bersih berlimpah ruah, udara segar, iklim dan musim..., dan penduduknya yang ramah, semua sangat bersahabat dan amat mendukung kehidupan warganya. Semua sangat menjanjikan untuk kesejahteraan hidup. Negara pun dalam UUD`45 menjamin penguasaan semua kekayaan alam itu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Tapi, itu dulu! Sekarang sebagian besar kekayaan negara tak lagi menjadi milik kita. Tambang emas raksasa Freeport di Papua, dikuasai asing. Udara pun sama, begitu juga air. Orang per orang kaya berkuasa menguasai alam negeri ini. Kita makan beras impor, gula impor, bahkan garam pun impor. Guyonan yang biasa kita dengar, hanya TKI dan TKW saja yang mampu diekspor negara ini ke luar negeri, selain asap. Belakangan, sebagian penduduk sudah tak ramah lagi: ringan tangan, gampang tersulut konflik, dan mudah mengamuk dan anarkis. Ironis.

Atmosfer negeri ini memang sudah lama dipenuhi dengan janji-janji. Terlebih jika musim pemilu tiba. Slogan dan janji-janji berhamburan di setiap panggung kampanye. Setelah semuanya berlalu, janji-janji itu berhenti termangu-mangu tinggal janji kosong.

Ada beberapa contoh janji-janji yang masih hangat dalam ingatan publik.

Pengungkapan kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir.

Tahun 2010 tinggal menunggu hitungan hari. Peristiwa terbunuhnya Munir telah berlalu delapan tahun silam. Tahun 2006, Suciwati istri almarhum bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di istana untuk memohon dukungan penanganan kasus. Pernyataan SBY pun sangat menjanjikan. Presiden mengungkapkan, "Penuntasan kasus pembunuhan Munir sebagai `a test of our history`, apakah sejarah kita sudah menghargai kesetaraan di depan hukum."

Tak hanya SBY yang melontarkan janji. Ketua DPR RI kala itu, serupa pula. Senin, 2 Februari 2006, Suciwati bertemu Agung Laksono di Gedung DPR/MPR RI untuk menanyakan kelanjutan kasus pembunuhan Munir. Hasilnya semua orang sudah bisa menebak. Proses pengadilan berjalan, dan akhirnya Pollycarpus dinyatakan tidak terbukti terlibat pembunuhan berencana terhadap Munir. Pollycarpus hanya terbukti bersalah menggunakan dokumen palsu dan divonis dua tahun penjara. Muhdi PR bahkan bebas.

Penuntasan kasus Bantuan Lukiditas Bank indonesia atau BLBI dan Bank Century juga hanya melahirkan janji-janji.

Begitu juga penuntasan kasus penggelapan pajak Gayus H.P. Tambunan yang menghebohkan itu. Meski sekarang proses hukumnya sedang berjalan. Oo...Masih ada lagi, kasus ganti rugi warga sekitar danau lumpur Lapindo. Rakyat akhirnya capai sendiri untuk mengurusi haknya karena stamina fisik dan finansial terbatas, sementara hidup harus terus berjalan. Semua kasus akhirnya mengalir liar dan hanya menjadi komoditas politik belaka. Rakyat tak mendapatkan apa pun, baik contoh tentang keadilan, dan penyelesaian suatu masalah secara benar.

Yang belum lama terjadi, bencana meletusnya Gunung Merapi juga tak luput dari janji-janji.

Presiden dengan sangat jelas menjanjikan pembelian hewan ternak bagi para pemilik ternak yang mengungsi. Kata SBY kala itu, yang dimuat di berbagai media massa: "Ada yang membeli murah, itu tidak baik. Sudah kena musibah sehingga mereka jangan dibikin susah. Jadi, kita beli sapi atau ternak dan agar mereka tidak terbebani dan ini sesuai instruksi. Pemerintah akan membeli sapi dengan harga yang pantas..."

Menteri Pertanian Suswono, setelah bertemu Presiden di Istana Negara, Jumat (5/11), menegaskan kembali bahwa pemerintah akan membeli ternak para pengungsi. "Pemerintah akan menyiapkan sekitar Rp 100 miliar untuk membeli sapi-sapi dan ternak para pengungsi dan sudah didata, sudah by name. Jadi, ternak sapi ini nantinya didata punya siapa, punya berapa. Sudah ada pendataan seperti itu."

Bahkan Menkokesra Agung Laksono menjelaskan lebih rinci teknis pelaksanaanya, "Sapi-sapi yang akan dibeli pemerintah, akan dilakukan di Dinas Peternakan setempat. Setelah dapat didata dengan baik, saat pembelian dilakukan akan disaksikan oleh pejabat setempat. "Kemudian langsung dibayarkan berapa nilainya setelah ditetapkan."

Jadi apa masalahnya

Ketika kebijakan pusat itu turun, pelaksanaan di lapangan sering kali amburadul. Itulah yang terjadi. Ratusan warga Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang ternaknya mati akibat bencana letusan Gunung Merapi berunjuk rasa di kompleks kantor Pemerintah Kabupaten Sleman menuntut realisasi janji pemerintah yang akan mengganti ternak mereka.

Tak hanya di daerah Yogyakarta, di Magelang pun banyak warga yang kecewa. Dinas Perternakan dan Perikanan (Peterikan) Magelang, Jawa Tengah hanya bisa membeli 150 sapi milik warga di lereng Merapi. Padahal sesuai dengan data, ada 23 ribu ternak di Magelang baik berupa sapi, kambing, maupun kerbau milik pengungsi yang siap dibeli pemerintah dengan harga yang layak. Dinas Peterikan Magelang hanya diberi jatah dari APBN sebesar Rp 1,2 miliar. Dana itu pun tak hanya dialokasikan untuk pembelian ternak saja, tapi juga perbaikan sarana dan prasarana. Sementara untuk pembelian ternak hanya dianggarkan Rp 200 juta.

"Janji" yang paling hangat adalah Timnas Sepakbola yang "menjanjikan".

Rakyat sudah sangat lama ingin memiliki tim sepakbola nasional yang bermutu, berprestasi dan bisa diandalkan. PSSI menjawab dengan "mewujudkan" impian rakyat itu melalui naturalisasi pemain asing. Pemerintah pun sangat mendukung, buktinya Presiden SBY datang menjenguk latihan Timnas jelang pertandingan semifinal. Inikah impian yang memang diinginkan Tentu saja rakyat harus sadar. Timnas dengan pemain naturalisasinya sekarang, ibaratnya hanyalah obat penghilang rasa sakit kepala bersifat instan. Rakyat butuh yang sejati, bukan semu instan. Proses pembinaan secara berkesinambungan, wadah kompetisi yang baik, akan menghasilkan produk yang jauh lebih membanggakan dibanding kemenangan semu. Itulah janji sejati.


Analisa:
Inilah kenyataan yang sedang berangsur-angsur terjadi di negeri kita ini sekarang.
Cuma janji manis yang selalu dikeluarkan oleh para kalangan atas. Mereka hanya memikirkan "kepentingan" mereka sendiri.
Apakah mereka benar-benar memikirkan kalangan bawah..
Mungkin itu terjadi pada saat sedang simpang siurnya kasus tersebut, setelah itu apa akan ditindaklanjuti secara tuntas.

Masyarakat Indonesia tidak lagi mempunyai pimpinan yang dapat dipercaya..
Janji manis dilontarkan pada saat pemilu, sedangkan setelah itu hanya menjadi usapan belaka.
Masyarakat harus segera mandiri, tidak lagi bisa mengharapkan pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar